Recents in Beach


Kegilaan dan Obsesi Pada Penis Muda


Cerita Seks - Semenjak persetubuhan liarku dengan Imran di acara keberangkatan Ibunya, aktivitas seksual kami semakin intens dan menjadi. Dengan dalih mengantarkan makanan ke rumah Imran yang saat itu tinggal seorang diri di rumahnya, berkali-kali kami melakukannya. Seluruh penjuru rumahnya telah menjadi saksi biksu aksi terlarang kami, ruang tamu, dapur, kamar tidur orang tuanya dan bahkan kamar mandi. Hanya balkon dan halaman saja yang tidak menjadi medan pertempuran kami berdua. Ya, aku belum cukup gila dengan melakukannya di tempat terbuka.

Kegilaan itu berujung pahit, aku seakan terobsesi dengan penis muda milik Imran , hal itu membuatku melupakan kewaspadaanku terhadap janin yang kukandung. Benar saja, dua bulan kemudian aku mengalami pendarahan hebat yang mengakibatkan keguguran.

Suamiku, Pandi tampak kecewa dengan keguguranku, namun ia menunjukkan kesabarannya dengan terus berada di sampingku selama masa pemulihannku. Ia benar-benar suami yang baik dan itu menimbulkan rasa bersalah di dalam benakku. Ya, aku telah mengkhianati suamiku, sebuah perselingkuhan dengan anak yang umurnya terpaut cukup jauh.

Imran sendiri seolah mengerti dengan keadaan yang terjadi, ia sering datang mengunjungiku,
“Bu Leni…” lamunanku buyar kala Imran meraih tanganku lembut. Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya. JaguarQQ
“Kita harus menghentikan ini, Mran…,” ujarku lirih, tak ingin terdengar oleh suami dan anak-anakku yang mungkin ada di rumah. “Ini semua salah.”
“Maafkan Imran , Bu…” Imran menundukkan pandangannya.
“Bukan salahmu, Ibu yang lebih bersalah dalam hal ini, Mran,” kubelai rambut Imran dengan lembut. “Lupakan apa yang sudah terjadi dan belajarlah dari pengalaman,” entah dari mana aku bisa mendapatkan kalimat bijak seperti itu, mungkin kalimat itu sejatinya untuk diriku sendiri.
Imran mengangguk lemah, “Baik Bu,” ujarnya seraya tetap menunduk.

Sejak hari itu Imran secara intens datang ke rumah untuk melihat keadaanku, kulihat ia sudah dapat berbaur dengan Reni dan Rangga, anak-anakku. Suamiku pun menyambutnya dengan baik. Seiring membaiknya keadaanku, suamiku meminta ijin padaku untuk kembali ke tempat dinasnya. Anak keduaku Rangga juga meminta ijin untuk kost di tempat yang tidak jauh dari sekolahnya sedang Reni memilih untuk menemaniku di rumah, kebetulan saat itu Reni sedang liburan.

“Mi, hari ini sop ayam ya?” Reni menanyakan menu untuk makan siang yang hendak dipersiapkannya.
“Biar mami bantu masak ya?” jawabku seraya berusaha bangkit dari tidurku.
“Lhoo nggak usah,” Reni bergegas mendekat dan dengan lembut membaringkanku. “Dokter bilang, Mami harus istirahat total selama satu bulan penuh. Tidak boleh beraktivitas APAPUN,” Reni mengingatkan dengan gayanya yang sok tua, membuatku tertawa geli melihatnya.
“Perasaan yang dilarang oleh dokter itu aktifitas berat deh, bukan apapun.”
“Ambil amannya aja Mi, aktifitas APAPUN,” Reni menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di hadapanku. “Lagipula, Reni dibantu sama Imran kok, dia cukup cekatan juga dalam masalah dapur.”

“Oh, ya sudah kalo Reni sudah ada yang membantu,” ujarku sambil tersenyum.

Saat aku terbangun Jarum jam pun menunjukkan puku 12.00 WIB , Kurasakan kering di tenggorokanku, aku duduk dan meraih gelas yang terletak di atas meja kamarku, kosong… sepertinya Rika lupa mengisi gelas itu, dispenser air mineral di kamarku juga sudah habis.

“Reni… Rangga…,” aku memanggil nama kedua anakku, namun tidak ada jawaban
Tidak ada pilihan lain, aku beranjak dari tempat tidurku dan melangkah pelan menuju dapur. saya fikir Mungkin mereka masih sibuk memasak, tanpa banyak berpikir kulanjutkan langkahku menuju dapur.

Tidak ada siapa-siapa di dapur. Aku lihat ada sepanci sop ayam yang sudah selesai di masak oleh reni. Kudengar ada suara seseorang dari halaman belakang, akupun melongok ke jendela namun tak ada siapapun di sana. lalu Akupun melangkah kembali ke kamarku.

Saat aku melewati kamar Reni yang tertutup aku terdengar suara kembali. Kuhentikan langkahku dan memasang indera pendengaranku tajam-tajam,
Kali ini diikuti lenguhan seseorang, aku tidak bisa memastikan apakah itu lenguhan pria atau wanita. Yang jelas, suara itu berasal dari dalam kamar Reni. Aku menggengam gagang pintu kamar untuk membukanya.

“Pelan… Dik… Ahh…"


Sebuah suara yang kini jelas terdengar mengurungkan niatku membuka pintu. Kali ini jelas, itu suara Reni. Suaranya terdengar berbaur dengan nafas yang memburu, ya… ada nafas yang terdengar memburu, apa yang Reni lakukan di dalam sana?

“Ohh Mbak… gini enak??”

Kudengar suara pria dari dalam kamar. Aku mengenal suara itu, Rangga, anak keduaku. Apa yang tengah dilakukan kakak-beradik itu? Suara mereka seperti… apakah mereka tengah bersenggama?!. Akhinya aku pun berfikir untuk mencoba melihat apa yang mereka lakukan, lalu aku letakkan kursi itu di depan pintu dan beranjak naik ke atasnya, mencoba mengintip dari ventilasi di atas pintu.

Apa yang aku lihat dari ventilasi di atas pintu kamar itu sangat mengejutkanku. Reni, anak gadisku tampak menghadap ke arah dinding kamarnya, tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Punggungnya merunduk sedang kakinya masih berdiri terbuka, payudara kencangnya tampak terayun-ayun ke depan, mata indahnya terpejam, bibir mudanya setengah terbuka dan sesekali mengeluarkan erangan-erangan erotis, bercampur baur dengan nafasnya yang memburu. Ekspresi wajahnya… menggambarkan kenikmatan yang tengah menderanya.


“Dik.. Ahh…,” Reni menengadahkan wajahnya, tubuh indahnya terdorong-dorong seiring kencangnya sodokan yang diterimanya dari belakang. Ah! Aku hampir saja melewatkan sosok pemuda yang kini asyik menyetubuhi putriku, badan pemuda itu tampak cukup berisi, ia sama telanjangnya dengan Reni, tangan kanan pemuda itu menarik pundak kanan Reni, membuat punggung anak gadisku sedikit menekuk ke atas sedang tangan kiri pemuda itu mencengkeram lekuk pinggul Reni. Rambut pemuda itu… Oh Tuhan! Dia anakku Rangga!. Reni tengah disetubuhi dari belakang oleh adik kandungnya sendiri!.

Persetubuhan sedarah itu membuatku berdesir, harusnya aku menghentikan kegilaan yang terjadi di rumahku ini tapi entah mengapa aku seolah tertahan tak berdaya. Kurasakan gejolak dalam diriku, apakah aku menikmati apa yang kulihat? Oh… seluruh tubuhku terasa merinding geli melihat bagaimana batang kejantanan Rangga keluar masuk liang kewanitaan kakaknya dengan cepat dan pasti, ukuran penisnya cukup besar, tidak berbeda jauh dengan milik Pandi suamiku, Ayah kandungnya.

“Ahh… Mbak… enak banget…,” Sangga melenguh sembari menusuk-nusukkan penisnya ke dalam tubuh Reni. “Ahh… empot terus Mbak….,” ia memejamkan matanya sambil terus meningkatkan ayunan pinggulnya.

“Iya… Shhh… Dik… Mbak mau…,” Reni mengepalkan tangannya dan memukul-mukul dinding. “Teruss Dik… Mbak.. mau… OOuuhhh!”


Tubuh Reni terdorong oleh hentakan keras adiknya hingga menempel rapat ke dinding, dapat kulihat anak gadisku itu mengejan beberapa saat matanya terpejam, ia menggigit bibir bawahnya saat tubuhnya terus saja mengejan dihimpit oleh dinding dan tubuh telanjang adik kandungnya. Ya, aku tahu apa yang Reni alami, wajahnya terlihat memerah, ia tengah orgasme.

“Keluar Mbak?” tanya sanggah tanpa melepaskan penisnya. Reni hanya mengangguk lemah dengan nafas tersengal-sengal. Rangga lantas menarik penisnya lepas dan membalik tubuh Reni. Aku dapat melihat bulir-bulir keringat di sekujur tubuh mulus dan kencang Reni. Membuat tubuh molek anak gadisku itu tampak berkilau dan menggairahkan.

“Ahh..,” lenguhan kembali terdengar dari bibir muda Reni kala penis Rangga kembali memasuki tubuhnya, kali ini mereka melakukannya dengan posisi berhadap-hadapan. Sangga melumat bibir Reni dengan ganas, merapatkan tubuhnya hingga buah dada Reni menempel di dada telanjangnya. Kulihat Rangga kembali menggerakkan pinggulnya, kembali menyetubuhi kakak kandungnya yang kini terhimpit antara dinding dan tubuh adik kandungnya.

Kupikir posisi itu cukup sulit untuk melakukan persetubuhan dengan tempo kencang, namun sekali lagi perkiraanku salah. Rangga dengan piawai memompa tubuh Rika kencang-kencang, membuat Reni terlonjak-lonjak akibat sodokan penisnya.

“Ah… aku keluar mbak…,” ujar Rangga di sela-sela pompaan penisnya.

Disini seharusnya aku menghentikan mereka! Namun sekali lagi aku hanya terdiam, lutut dan lidahku seolah kelu dan tak mau menerima perintah dari akal sehatku. Aku hanya berharap Rangga tidak mengeluarkan benihnya di dalam tubuh Reni , aku berharap Reni masih punya cukup akal sehat untuk tidak membiarkan adik kandungnya menghamilinya.


Harapanku sirna saat kulihat Rangga melesakkan dalam-dalam penisnya dan menggeram, tubuhnya mengejan beberapa saat, pertanda ia mencapai ejakulasinya. Oh tidak! Apa yang akan terjadi dengan keluarga ini jika Reni mengandung anak dari adik kandungnya sendiri. Oh Tuhan! Aku merutuk dan meratap dalam hati.

Kulihat mereka terdiam untuk sejenak, sebelum Rangga mencabut penisnya. Untunglah! Aku bersyukur dalam hati saat melihat Rangga melepaskan sesuatu dari penisnya, rupanya ia menggunakan kondom. Untunglah masih ada akal sehat dalam diri anak-anakku.

Tubuh telanjang Reni merosot lemas hingga ia berjongkok di atas lantai, kulihat ia masih mengatur nafasnya. Tubuhku masih saja terasa merinding dan kewanitaanku kini terasa lembab. Apa yang salah dengan diriku? Mengapa tubuhku menandakan bahwa aku menikmati mmengintip persetubuhan sedarah yang dilakukan kedua anak kandungku. Ini salah! Ini benar-benar salah!.

“Ayo mbak.”


Suara seorang pria membuyarkan lamunanku, bukan… itu bukan suara Rangga, aku mengenal suara itu… itu suara Imran! Dan benar saja, kulihat Imran sedang membantu Reni berdiri dan membaringkan tubuh telanjang anak gadisku ke atas kasur. Kulihat Imran yang juga telah telanjang menarik kedua kaki Reni hingga terjuntai di tepi ranjang, kulihat Imran menggesek-gesekkan penisnya yang telah ereksi ke sepanjang bibir kewanitaan anak gadisku.

Dan sekali lagi Reni melenguh saat penis Imran, bocah SMP kelas tiga itu memasuki tubuh sintalnya. Reni hanya terbaring pasrah saat Imran menggoyang, meremas dan menghisap buah dadanya, Sesekali Reni tampak ikut bergoyang. Berarti sedari tadi Rangga dan Reni melakukan persetubuhan di hadapan Imran dan kini Imranlah yang menikmati tubuh anak gadisku.

Seketika itu pening menyerang kepalaku, terlebih lagi saat aku melihat Rangga naik ke atas ranjang, masih dalam keadaan tanpa busana dan penis yang belum tegang. Kulihat Rangga, putraku mengarahkan penisnya ke bibir Reni , kakak kandungnya.

Aku bergegas turun dan berjalan tertatih menuju kamarku, berbaring dan bersembunyi di balik selimutku. Kepalaku terasa pening, tubuhku gemetar, lututku terasa lemas dan kewanitaanku telah basah. Kupejamkan mataku dan berusaha mengusir bayangan terakhir dari apa yang kulihat, bayangan tubuh indah anak gadisku, Reni yang tengah mengulum penis Rangga, adik kandungnya, saat vaginanya disodok oleh penis Imran. Ah! Seharusnya aku tidak mengawali semua ini…. Seharusnya persetubuhanku dengan Reni tak pernah terjadi.

Sore itu aku baru saja selesai menurunkan pakaian dari jemuran di belakang rumah, sudah enam bulan berlalu sejak aku melihat hal terlarang yang seharusnya bisa aku hentikan. Kadang aku masih merasa miris mengingat apa yang kulihat, namun aku tetap berusaha tampil tegar, seolah aku tidak pernah melihat kejadian itu. Reni kini telah kembali ke kesibukan kuliahnya, begitu pula dengan Rangga yang tak lagi tinggal di rumah. Imran? Bocah tetanggaku itu sudah jarang sekali terlihat, sepertinya ia menyadari kursi yang aku tinggalkan begitu saja di depan pintu kamar Reni .

Kudengar suara mesin sepeda motor memasuki pekarangan rumah. Kulihat Reni datang, mengenakan kemeja berwarna coklat khaki dan celana jeans ketat, dengan rambut panjang hitam yang tergerai indah membuatnnya tampak sangat anggun.

“Lho, tumben nih pulang? Kan belum hari minggu?” sapaku saat ia mencium tanganku. “Mbak mau dimasakin apa buat makan malam?” tawarku padanya.
“Mi…,” Reni memanggilku lirih, pandangan wajahnya merunduk, seolah telah melakukan sebuah kesalahan. Seketika itu firasat buruk menyergapku. “Aku hamil…,” ucapnya lemah.

Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Kabar yang dibawa anak gadisku bagai petir yang menyambar di siang bolong. BandarQ Online
“Siapa Ayahnya? Pacarmu?” tanyaku menyelidik.
“Bukan,” Reni menggeleng lemah. “Ayahnya… Imran.”
Dan seketika itu aku kehilangan kesadaranku.

Posting Komentar

0 Komentar